Puisi PATAH Hati Penuh Kesedihan Goresan Luka
Bukan karena badai taufan,
Bukan diterjang ombak gelombang,
Rasa teriris begitu pedih,
Sebab sedang patah hati.
.
.
.
Oleh kieta _ Anna Noor Jannah
Puisi patah hati adalah puisi yang menggambarkan perasaan seseorang yang sedang kecewa. Biasanya berkenaan dengan cinta.
Aku jadikan
Huruf-huruf ini
Sebagai sarana merapikan duka laraku, menulis puisi usangku, dan berbagi patah hatiku.
.
Patah hatiku telah kubungkus rapi,
Dalam bait-bait puisi.
Bukan untuk kamu.
Hanya sekedar menyimpan
Kenangan. Sebab aku tahu.
Kepedihan ini kadang menjadi indah, nanti di suatu waktu.
.
Dari patah hati,
Lahirlah puisi. Sedih sekali.
Tapi aku suka.
Seperti sukaku pada puisi senja.
.
Mendengarkanmu,
Menulis puisi apa
Membaca novel apa
Sebab, aku sedang tidak jatuh cinta. Tapi aku sedang patah hati. Gitu.
.
Untuk bersedih
Pada lembaran hidupku.
Apalagi lari
Dari kehidupan ini.
Aku tahu
Masa depan sedang menunggu
Untuk kesentuh sembari penuh senyuman.
Karena di sana
Ada harapan penuh kebahagiaan.
.
.
Ia laksana lukisan,
Merekam masa lalu
Tetapi:
Boleh kau buang
Atau kau simpan.
Saatnya
Ketika kebahagiaan datang,
Patah hati itu dengan sendirinya hilang.
.
.
Yang membuat patah hati.
Sebab meletakan harapan
Kepada seseorang yang lemah,
Yaitu kamu.
.
.
Aku perlu jatuh cinta
Untuk membuat puisi yang indah.
Seperti perlu patah hati
Untuk membuat bergetarnya puisi.
.
.
Sesekali
Berikan kabarkan patah hati
Pada secangkir kopi.
Agar kamu mengerti
Sepahit apapun kopi
Ia akan dinikmati
Manakala
Bertemu pada tempat
Dan waktu yang tepat.
.
.
Kamu mungkin
Tak lagi perlu diriku.
Hanya perlu
Puisi-puisi yang kutulis
Karena didalamnya
Bisa mengenang luka dari patah hati.
Lari menuju sunyi,
Puisi, dan secangkir kopi.
Padahal kamu tahu
Aku lebih sakit dari dirimu
Sebab telah banyak
Berkorban, namun dibalas pengkhianatan.
.
.
Dimana bahagia itu.
Aku tak menemukannya
Padamu. Pergilah jauh kalau memang ingin pergi.
.
.
Sedih ini semakin sedih
saat patah hati.
Puisi ini semakin puitis
saat patah hati.
Dan kopi?
Nikmat sekali
Saat disesap ketika patah hati.
.
.
Membiarkan perasaan tercabik
Karena orang-orang
Yang tak punya perasaan.
Lindungi
Setiap jengkal perasaan
Jangan pernah kau serahkan
Pada serigala;
.
.
Keterlanjuran.
Bahwa aku mencintai
Seseorang yang disangka,
Disangka tak patah hati.
Lalu menuntutku
Sebagai pengganti.
.
.
Kamu
Terlalu dalam
Saat patah hati.
Hingga luber menjadi puisi,
Mengalir jadi sedih.
Padahal
Itu kamu.
Kamu saja
Yang terlalu.
.
.
Dari hati itu mengalir perasaan.
Maka ketika hati terluka,
Mengalir pula luka pada perasaan.
Ingin kubalas sakit hati
Tapi untuk apa.
Lebih sendiri.
Merangkai kebahagiaan
Yang sempat kau campakan.
.
.
Baru aku mengerti,
Mengapa cinta begitu perih.
Ada luka
Meski tanpa darah.
Ada perih,
Yang sulit terobati.
Tak lagi berharap,
Takut-takut kau khianati. Lagi.
.
.
Bukannya aku kecewa,
Dengan semua sikapmu.
Hanya ingin menangis,
Mengapa berjumpa
Lalu berpisah..
..dalam luka.
.
.
Udara terasa pengap.
Ingin menangis,
Tapi air mata ini tak mengalir.
Hanya menambah pedih saja.
Kutorehkan saja
Pada puisi senja,
Moga tak ada lagi luka
Seperti luka yang kau bawa.
.
.
Kita menata kisah,
Disusun sangat indah,
Dengan segala rasa.
Semua dan segala
Rupanya sebatas
Kenangan.
Selamat tinggal,
Aku ingin pergi jauh ke depan,
Tak lagi menoleh ke belakang,
Apalagi pada kenangan.
Kenapa
Kamu datang
Mengacaukan rasa
Dalam dada?
Mengombang-ambing
Diriku bagai buih di lautan:
Antara harapan dan kekecewaan.
.
Ingin kutuliskan
Setiap butir kesedihan
Menjadi kata-kata.
Agar terlepas segala
Beban rasa cinta.
Kapankah hadir
Cinta murni
Pelepas sepi
Yang lama menanti.
.
.
Pada orang yang salah,
Yang kutahu
Bahwa cinta ini tidak akan berjumpa
Dalam pelabuhan asmara.
Hanya singgah, sebentar saja.
Seperti orang asing yang lalu pergi.
Pergi lalu menghadiahi
Diriku dengan seonggok sepi.
.
Aku tak lagi mengharap cintamu,
Seperti dulu.
Dunia ini terlalu luas,
Untuk kuarungi.
Bukan sekedar
Meratapi cinta yang tak berbunga,
Kuingin melanglang, merasakan
Setiap getar kehidupan.
Ingin kurasakan
Getir dan pahitnya,
Manis dan asamnya.
Meski terluka,
Aku ingin tahu rasanya.
Meski tersiksa,
Aku ingin tahu sebatas mana.
Karena kuyakin,
Dunia ini penuh warna,
Bukan hanya sendu dari orang yang patah hati.
.
Pada dinding karang;
Yang pintunya tertutup,
Jendelanya tiada.
Terkurung
Dalam penantian panjang,
Tanpa tahu
Kapan akhir dari penantian panjang.
Hampir saja aku keletihan,
Menunggu dalam ketidakpastian.
Haruskah aku merobek
Sebuah janji yang kubuat dulu,
Untuk selalu setia menunggu?
Kalau hatiku terbuat
Dari batu. Maka pecahlah.
Kalau terbuat dari
Kayu. Maka patahlah.
Sebab telah rusak
Karena cinta.
.
Seperti kemarau yang rindu
Pada turunnya hujan.
Kepadamu aku merindu,
Seperti angin yang rindu,
Pada bunga yang mewangi.
Sebab ada cinta
Yang tumbuh bersemi.
Yang kau tanamkan
Ke lubuk hatiku.
Walaupun sebutir,
Ia tumbuh terus
Tak terhenti.
Mungkin suatu hari nanti
Kamu akan tahu,
Apa artinya sebuah rindu.
.
Kamu,
Sudah cukup memberiku.
Hanya dengan membuatku rindu,
Sudah cukup bagiku,
Sebagai hadiah,
Terindah,
Yang
Pernah
Ada.
Karena kamu cakrawala,
Tempatku terbang mengakasa,
Memaknai hari-hari dengan cinta.
Betapa sederhana,
Kau bawakan bahagia,
Lalu kurajut
Untuk kuberikan lagi untukmu.
.
.
Dalam lembar putih,
Dari bukuku yang dulu,
Ada sedikit puisi,
Tentang patah hati.
ada terangkai aksara,
menggambarkan rasa kecewa.
Hujan turun sangat perlahan. Seperti gemarai daun-daun di musim gugur. Sesekali angin berhembus, dengan langkah gemulai yang penuh kelembutan.
Dinginnya amat membeku. Inilah malam yang sangat menyedihkan.
Aku tersandar pada kepiluan hati. Yang sebelumnya indah, mekar, seperti bunga-bunga di musim bersemi.
Tapi kini telah patah. Retak oleh kepedihan bercampur kecewa mendalam. Bukan padamu. Namun pada diri yang telah salah:
Salah; meletakan seuntai cinta terindah pada leher seseorang berhati serigala.
Setelah malam-malam yang kelam; pagi yang penuh kabut; dan siang yang begitu kelam, maka kini telah belajar bahwa:
Tidaklah hati ini pedih, kecuali berharap pada yang salah.
Maka
Tuhan telah meminta kita, untuk menyerahkan hati untuk Dia.
Sebab bila engkau menyerahkan hati pada manusia, berarti menyerahkannya pada tangan yang lemah. Yang tak mampu menjaga.
.
.
Jikalau air mata ini menitik, mungkin saja ada beban di dalam dada. Tak mampu dadaku menampungnya.
Maka ia akan mengalir. Mencari jalan ke luar dari dunia. Atau sekedar memberitahukan, bahwa jiwa ini sedang berduka.
Jikalau pedihku terurai menjadi puisi, mungkin saja pada setiap aksara ada cerita. Menggambarkan keresahan di dalam jiwa.
Maka ia menyusun. Menjadi bait-bait puisi. Atau sekedar sajak yang tak begitu indah, namun menggamit kepedihan.
Sedang kesedihan tak mengembalikan
Apapun yang pergi.
Aku tak ingin seperti
Selamanya. Yang kuingin
Pengganti yang lebih baik.
Kalaulah harus menangis
Tentu air mataku telah habis.
Hanya kutabahkan hati ini
Semoga kau bahagia di sana
Dan aku, aku tahu kamu bukan yang terbaik untukku.
.
.
Bagaikan sebutir debu
Tertiup angin di padang pasir.
Di antara gelora
Panas dari terik mentari.
Hadirmu bagaikan mimpi,
Laksana embun yang membasahi.
Kemarauku selesai,
Berganti musim nan hijau.
Kamu adalah
Anugerah dari Tuhan.
Sebagai jalan tuk
Menarikku kembali dari tepi jurang kehancuran.
.
.
Terukir di sanubari.
Di antara kelopak cinta,
Di antara bunga-bunga
Yang harum aneka aroma.
Ingin kupeluk,
Dengan segenap kasihku,
Agar engkau tahu,
Betapa berharganya dirimu.
.
.
Seperti dahulu.
Ketika kamu
Membawa perhatian,
Kepadaku. Setiap waktu.
Ketika kamu
Selalu membela,
Memberiku semangat
Dan meyakinkan diriku,
Bahwa aku amat berharga.
Aku ingin seperti dahulu,
Kembali mengulang masa indah,
Saat kau selalu memberikan,
Seulas senyuman yang begitu mesra.
.
.
Dengan segenap luka.
Tak hiraukan diriku
Walaupun berurai air mata.
Kau berlalu pergi
Seolah tak ada cerita.
Tak pedulikan rasa
Walaupun lama kita menata.
Tetapi aku bersyukur,
Pergimu membawa berkah,
Laraku menumbuhkan kekuatan,
Dukaku menerbitkan ketabahan.
Aku tidaklah sama
Seperti ketika pertama berjumpa.
Untuk apa kau datang lagi?
Aku mampu lebih bahagia, setelah kau lama pergi.
.
.
Kini aku bersyukur,
Berjumpa seseorang
Yang mengajarkan
Agar kepadaNya berserah,
untukNya segala ibadah,
hidup dan matiku,
bukan untuk menderita,
tapi untuk bermunajat seutuh jiwa.
Kau pergi.
Aku telah menata diri,
Untuk hari-hari akhiratku nanti.
.
.
Hingga sulit bangkit.
Terbuang di sudut waktu,
Sedih sendiri. Redup sekali.
Kau yang pernah ada,
Cintanya kian meredup
Tak lagi membawa cahaya bahagia.
Maka biarlah,
Aku kembali pada
Kebahagiaan hakiki
Kepada-Nya aku kembali.
.
Tunggu aku suatu hari nanti. Bukan dengan patah hati.
Mungkin aku
Kembali datang. Bukan untuk bersama.
Hanya berterimakasih,
Karena telah mendidiku
Menjadi lebih dewasa.
Lebih kuat. Sebab luka yang pernah kau sajikan untukku.
Mencintaimu
Dari kejauhan tak selamanya menyakitkan.
Selalu ada kilasan dari kebahagiaan
Menyelusup diam-diam dalam hatiku.
Melihatmu cerita,
Bahagia, dan puas dalam kehidupan
Telah menjadi obat dari luka.
Sebab
Inginku bersamamu
Semata-mata agar kau bahagia.
.
.
Untuk menyembuhkan luka.
Aku sudah menemukan
Bagaimana meredakan perih
Yang dulu terasa begitu pedih.
Cerialah dalam hidupmu,
Bahagiakan orang-orang
Yang menyanyangimu.
Jangan lagi kau toleh
Ke belakang. Apalagi melihat
Kenangan antara aku dan kamu.
Sebab
Aku khawatir,
Ada penyesalan
Yang dapat merusakan.
.
.
Agar luka tak bersemayam
Dalam dada.
Jangan biarkan
Kata “andai” memasukinya.
Sebab itu hanya untuk mereka,
Yang ingin berlarut-larut dalam nestapa.
Menyesali bukanlah cara
Untuk mendatangkan bahagia.
Melainkan taburan garam
Di atas perih yang sudah ada.
Cobalah bangkit.
Kembali pada Allah, Tuhan semesta.
Karena bersama-Nya
Terhapus segala duka.
.
.
Semua kenangan terkubur
Dalam-dalam. Sebab dia kelam.
Bukalah cakrawala
Yang indah. Menantikan kehadiran
Dari dirimu dan senyumannya.
.
.
saat segalanya diperjuangkan bersama-sama:
kamu selalu ada
dengan seulas senyuman
yang begitu indah.
Jenak yang sengsara
Membuatmu setia: menemani
Tanpa lelah beriring dengan doa.
Jadi, apakah kini kamu telah letih?
Ataukah putus asa? Atau kamu kecewa?
Setahuku,
Hari ini, kamu adalah bukan kamu yang dulu.
.
.
Pada dirimu yang berhasil
Mendapatkan hati yang bahagia.
sebab keikhlasannya demikian jernih,
sehingga mendekaplah padamu - dengan kehangatan - segenap
yang bernama bahagia, rasa nyaman, dan kasih sayang.
Aku sangat iri padamu.
Yang wajahnya memiliki cahaya yang hanya dimiliki orang-orang berjiwa teduh.
.
.
Ingin kamu mengecap luasnya bentangan tenang.
Memberitahukanmu, terbangkanlah jiwamu
Tinggi-tinggi. Lepaskanlah ikatan duniawi.
Kamu tahu,
Tenang itu justru saat kau
Tak lagi terikat dengan tarikan duniawi.
.
.
Aku ingin menjadi orang paling bahagia.
Sebab telah puas
Menuliskan kebaikan sebisaku,
Mengorbankan semampuku,
Dan mendoakan kebaikan untukmu, selalu.
Bahwa aku
Mengakui segala salah,
Memperbaikinya tanpa lelah.
Tanpa pembelaan yang mungkin bisa merendahkanmu.
.
.
Tak dipungkiri, ada jenak kebahagiaan saat senyumanmu datang membayang.
.
.
Di balik amarah,
Aku selalu terpuruk dalam penyesalan.
Amarah itu
Telah membuatk tubuhku ringkih,
Serupa tangkai tua, ambruk tersapu badai.
Bisakah kau
Obati beribu luka pada tubuhku?
Mampukah
Menyembuhkan lara pada jiwaku?
Serta menerima
Apa adanya siapa diriku.
.
.
Sabarmu bagai telaga
Tempat tumpahkan segala resahku.
Teduhmu lebih dari gerimis
Mengusir panas dari amarahku.
Dan kasihmu,
Mendekap mesra. Meruntuhkan
Kecemasanku.
Terimakasih
Untuk semua nikmat hidup ini.
.
.
Di antara malam-malam sunyi,
Senyumanmu yang paling tampak
Di mataku.
Mencintaimu, begitu menggemaskan.
Aku teringat, senyum sendiri.
Aku jatuh cinta padanya,
Untuk seseorang yang pernah
Meletakan harapanku padanya,
Untuk seseorang yang pernah,
Membuatku termimpi di masa depan,
Untuk seseorang yang pernah
Mengganggu tidur malamku,
Untuk seseorang yang tak pernah
Tahu berterimakasih.
Aku melepaskanmu. Hari ini.
.
.
Aku pernah menjadikanmu tempat berteduhku.
Aku pernah melepaskan resahku padamu,
Aku pernah menceritakan impian terindahku,
Menjadikanmu senjaku – waktu terindah.
Menjadikanmu hujanku – tempat tumpah air mata.
Semuanya telah berakhir.
Entah ke mana. Tiba-tiba aku seperti kehilanganmu, semestaku.
Dan engkau-pun kehilanganku, salah satu bintang, dari bintang-bintangmu.
Puisi by Echaviva.
.
.
Mengusik telaga rinduku.
Kamu, kubiarkan bermain
Di sela-sela pohon cintaku.
Karena aku tahu,
Hatiku tertawan oleh
Kepolosan senyumanmu.
Tapi itu dulu.
Kini sepertinya
Dunia telah merusak segala rasa;
Semua keindahan jiwa.
Perlahan-lahan
Kamu pergi, sembari
Menaburkan sebilah luka.
.
.
Duduklah.
Dengarkanlah. Aku ingin bicara.
Maafkan – bukannya aku tega. Tapi memang ketegasan lebih aku butuhkan daripada mengalah pada rasa.
Aku memahami keinginanmu.
Juga penghormatanmu kepadaku.
Tapi –
Waktu tak mungkin berhenti. Ia kan terus mengalir. Jauh sekali. Meninggalkan diriku.
Sedangkan dihadapanku, ada lentera terang yang begitu jelas akan menerangi jalan hidupku.
Cinta –
Aku lebih memilih cinta
Yang mendapatkan restu
Dari Dia Yang Maha Pemurah.
Bukan cinta –
Yang mengundang dosa dan bencana.
A k u masih mencintaimu.
Tidak. A k u masih sangat mencintaimu.
Semenjak kau pergi,
Sepi menyergapku.
Sepi itu hanya satu
Dari sekian pertanda,
Bahwa cintaku padamu
Tak pernah padam. Hari ini. Esok. Dan entah sampai kapan.
Meskipun pedih.
Kutabahkan hati. Pergimu aku memahami.
Bukan untuk menyakitiku,
Tapi aku tahu, kamu berlari
Dari genangan air menuju samudra
Yang bahkan kau tak tau tepinya.
Ya, itulah kebahagiaan yang kau temukan.
Maka jika
Kau berbahagia di sana,
Aku tak akan pernah mengusik, sedikitpun jua.
Karena aku bukan sekedar mencintaimu,
Aku juga menghormatimu.
.
.
Adakalanya lebih baik menyelipkannya
di antara kesibukan hari-hari.
Untuk kamu yang di sana.
Jangan pernah datang lagi.
Atau sekedar mengorek masa lalu
Yang telah kukubur jauh-jauh.
Aku telah mencintaimu,
Dan cukup bagiku.
Telah selesai cintaku,
Selesai pula keinginanku.
Tak mungkin lagi
Aku membuka pintu harapan,
Pada dirimu, yang membuka pintu kelam.
.
.
Barulah aku tahu pedihnya sembilu.
Semenjak kepergianmu,
Barulah aku tahu artinya rindu.
Dulu – ketika hari-hari bersama,
Betapa nikmatnya hidup.
Tawamu yang renyah,
Tatapanmu yang penuh kasih,
Dan cemberutmu yang begitu aku suka.
Aku rindu,
Menikmati pemandangan
Dimana engkau memegang mushaf
Dan menghafal ayat demi ayat.
Aku rindu,
Menikmati jenak
Saat senja tiba menikmati
Secangkir kopi. Bersamamu.
Aku rindu.
Kekasih hatiku. Padamu.
.
.
Hati milikku yang satu-satunya ini.
Kau pecahkan rasa
Dari seorang yang lemah,
Tak berdaya, mengharap lalu kau bawakan sebongkah kecewa.
Bukan diterjang ombak gelombang,
Rasa teriris begitu pedih,
Sebab sedang patah hati.
.
.
.
Oleh kieta _ Anna Noor Jannah
Puisi patah hati adalah puisi yang menggambarkan perasaan seseorang yang sedang kecewa. Biasanya berkenaan dengan cinta.
Aku jadikan
Huruf-huruf ini
Sebagai sarana merapikan duka laraku, menulis puisi usangku, dan berbagi patah hatiku.
.
Patah hatiku telah kubungkus rapi,
Dalam bait-bait puisi.
Bukan untuk kamu.
Hanya sekedar menyimpan
Kenangan. Sebab aku tahu.
Kepedihan ini kadang menjadi indah, nanti di suatu waktu.
.
Dari patah hati,
Lahirlah puisi. Sedih sekali.
Tapi aku suka.
Seperti sukaku pada puisi senja.
.
Tak Mau
Aku tak mauMendengarkanmu,
Menulis puisi apa
Membaca novel apa
Sebab, aku sedang tidak jatuh cinta. Tapi aku sedang patah hati. Gitu.
.
Tak Ada Waktu
Tida ada waktuUntuk bersedih
Pada lembaran hidupku.
Apalagi lari
Dari kehidupan ini.
Aku tahu
Masa depan sedang menunggu
Untuk kesentuh sembari penuh senyuman.
Karena di sana
Ada harapan penuh kebahagiaan.
.
.
Semuanya Baik.
Namun, kenangan tetap indahIa laksana lukisan,
Merekam masa lalu
Tetapi:
Boleh kau buang
Atau kau simpan.
Saatnya
Ketika kebahagiaan datang,
Patah hati itu dengan sendirinya hilang.
.
.
Tertusuk, Maka Patah Hatiku.
Aku sendirilahYang membuat patah hati.
Sebab meletakan harapan
Kepada seseorang yang lemah,
Yaitu kamu.
.
.
Aku perlu jatuh cinta
Untuk membuat puisi yang indah.
Seperti perlu patah hati
Untuk membuat bergetarnya puisi.
.
.
Sesekali
Berikan kabarkan patah hati
Pada secangkir kopi.
Agar kamu mengerti
Sepahit apapun kopi
Ia akan dinikmati
Manakala
Bertemu pada tempat
Dan waktu yang tepat.
.
.
Kamu mungkin
Tak lagi perlu diriku.
Hanya perlu
Puisi-puisi yang kutulis
Karena didalamnya
Bisa mengenang luka dari patah hati.
1. Kecewa karena sikapmu
Kamu Pergi.
Lalu kamu diamLari menuju sunyi,
Puisi, dan secangkir kopi.
Padahal kamu tahu
Aku lebih sakit dari dirimu
Sebab telah banyak
Berkorban, namun dibalas pengkhianatan.
.
.
Biar Kucari.
Biar kucariDimana bahagia itu.
Aku tak menemukannya
Padamu. Pergilah jauh kalau memang ingin pergi.
.
.
Sedih ini semakin sedih
saat patah hati.
Puisi ini semakin puitis
saat patah hati.
Dan kopi?
Nikmat sekali
Saat disesap ketika patah hati.
.
.
Perasaan
Mengapa kamu merasa sedihMembiarkan perasaan tercabik
Karena orang-orang
Yang tak punya perasaan.
Lindungi
Setiap jengkal perasaan
Jangan pernah kau serahkan
Pada serigala;
.
.
Terlanjur.
Ini hanya tentangKeterlanjuran.
Bahwa aku mencintai
Seseorang yang disangka,
Disangka tak patah hati.
Lalu menuntutku
Sebagai pengganti.
.
.
Kamu
Terlalu dalam
Saat patah hati.
Hingga luber menjadi puisi,
Mengalir jadi sedih.
Padahal
Itu kamu.
Kamu saja
Yang terlalu.
.
.
2. Hati Dan Perasaan
Masih.
Aku masih punya hati.Dari hati itu mengalir perasaan.
Maka ketika hati terluka,
Mengalir pula luka pada perasaan.
Ingin kubalas sakit hati
Tapi untuk apa.
Lebih sendiri.
Merangkai kebahagiaan
Yang sempat kau campakan.
.
.
Perihnya Cinta.
Saat lara mendekap,Baru aku mengerti,
Mengapa cinta begitu perih.
Ada luka
Meski tanpa darah.
Ada perih,
Yang sulit terobati.
Tak lagi berharap,
Takut-takut kau khianati. Lagi.
.
.
Bukan Kecewa.
Bukannya aku kecewa,Dengan semua sikapmu.
Hanya ingin menangis,
Mengapa berjumpa
Lalu berpisah..
..dalam luka.
.
.
Goresan hati yang terluka.
Sepi tiba-tiba mendekap,Udara terasa pengap.
Ingin menangis,
Tapi air mata ini tak mengalir.
Hanya menambah pedih saja.
Kutorehkan saja
Pada puisi senja,
Moga tak ada lagi luka
Seperti luka yang kau bawa.
.
.
Salam terakhir untuk kekasih.
Berapa lamaKita menata kisah,
Disusun sangat indah,
Dengan segala rasa.
Semua dan segala
Rupanya sebatas
Kenangan.
Selamat tinggal,
Aku ingin pergi jauh ke depan,
Tak lagi menoleh ke belakang,
Apalagi pada kenangan.
3. Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Namamu, Kenapa Dalam Hidupku?
Kenapa
Kamu datang
Mengacaukan rasa
Dalam dada?
Mengombang-ambing
Diriku bagai buih di lautan:
Antara harapan dan kekecewaan.
.
Cinta Tak Kunjung Datang.
Ingin kutuliskan
Setiap butir kesedihan
Menjadi kata-kata.
Agar terlepas segala
Beban rasa cinta.
Kapankah hadir
Cinta murni
Pelepas sepi
Yang lama menanti.
.
.
Penantian Sunyi.
Mengapa mesti ada cintaPada orang yang salah,
Yang kutahu
Bahwa cinta ini tidak akan berjumpa
Dalam pelabuhan asmara.
Hanya singgah, sebentar saja.
Seperti orang asing yang lalu pergi.
Pergi lalu menghadiahi
Diriku dengan seonggok sepi.
.
Kepergianku Untuk Selamanya.
Tidak.Aku tak lagi mengharap cintamu,
Seperti dulu.
Dunia ini terlalu luas,
Untuk kuarungi.
Bukan sekedar
Meratapi cinta yang tak berbunga,
Kuingin melanglang, merasakan
Setiap getar kehidupan.
Ingin kurasakan
Getir dan pahitnya,
Manis dan asamnya.
Meski terluka,
Aku ingin tahu rasanya.
Meski tersiksa,
Aku ingin tahu sebatas mana.
Karena kuyakin,
Dunia ini penuh warna,
Bukan hanya sendu dari orang yang patah hati.
.
Menunggu Ketidakpastian.
Kamu telah menempatkanku,Pada dinding karang;
Yang pintunya tertutup,
Jendelanya tiada.
Terkurung
Dalam penantian panjang,
Tanpa tahu
Kapan akhir dari penantian panjang.
Hampir saja aku keletihan,
Menunggu dalam ketidakpastian.
Haruskah aku merobek
Sebuah janji yang kubuat dulu,
Untuk selalu setia menunggu?
4. Puisi Rindu dan Kecewa
Patah Hati Karena Cinta.
Kalau hatiku terbuat
Dari batu. Maka pecahlah.
Kalau terbuat dari
Kayu. Maka patahlah.
Sebab telah rusak
Karena cinta.
.
Hatiku Merindu.
Kepadamu aku merindu,Seperti kemarau yang rindu
Pada turunnya hujan.
Kepadamu aku merindu,
Seperti angin yang rindu,
Pada bunga yang mewangi.
Sebab ada cinta
Yang tumbuh bersemi.
Yang kau tanamkan
Ke lubuk hatiku.
Walaupun sebutir,
Ia tumbuh terus
Tak terhenti.
Mungkin suatu hari nanti
Kamu akan tahu,
Apa artinya sebuah rindu.
.
Rindu Ini, Indah Sekali.
Kamu,
Sudah cukup memberiku.
Hanya dengan membuatku rindu,
Sudah cukup bagiku,
Sebagai hadiah,
Terindah,
Yang
Pernah
Ada.
Karena kamu cakrawala,
Tempatku terbang mengakasa,
Memaknai hari-hari dengan cinta.
Betapa sederhana,
Kau bawakan bahagia,
Lalu kurajut
Untuk kuberikan lagi untukmu.
.
.
Patah Hati dan Kecewa.
Dalam lembar putih,
Dari bukuku yang dulu,
Ada sedikit puisi,
Tentang patah hati.
ada terangkai aksara,
menggambarkan rasa kecewa.
5. Puisi Patah Hati Panjang
Hati Yang Patah.
[ditulis dengan Kahlil Gibranis]Hujan turun sangat perlahan. Seperti gemarai daun-daun di musim gugur. Sesekali angin berhembus, dengan langkah gemulai yang penuh kelembutan.
Dinginnya amat membeku. Inilah malam yang sangat menyedihkan.
Aku tersandar pada kepiluan hati. Yang sebelumnya indah, mekar, seperti bunga-bunga di musim bersemi.
Tapi kini telah patah. Retak oleh kepedihan bercampur kecewa mendalam. Bukan padamu. Namun pada diri yang telah salah:
Salah; meletakan seuntai cinta terindah pada leher seseorang berhati serigala.
Setelah malam-malam yang kelam; pagi yang penuh kabut; dan siang yang begitu kelam, maka kini telah belajar bahwa:
Tidaklah hati ini pedih, kecuali berharap pada yang salah.
Maka
Tuhan telah meminta kita, untuk menyerahkan hati untuk Dia.
Sebab bila engkau menyerahkan hati pada manusia, berarti menyerahkannya pada tangan yang lemah. Yang tak mampu menjaga.
.
.
Patah Hati Terindah.
Jikalau air mata ini menitik, mungkin saja ada beban di dalam dada. Tak mampu dadaku menampungnya.
Maka ia akan mengalir. Mencari jalan ke luar dari dunia. Atau sekedar memberitahukan, bahwa jiwa ini sedang berduka.
Jikalau pedihku terurai menjadi puisi, mungkin saja pada setiap aksara ada cerita. Menggambarkan keresahan di dalam jiwa.
Maka ia menyusun. Menjadi bait-bait puisi. Atau sekedar sajak yang tak begitu indah, namun menggamit kepedihan.
6. Puisi Patah Hati Galau
Haruskah Begini Selamanya?
Kenapa harus bersedih,Sedang kesedihan tak mengembalikan
Apapun yang pergi.
Aku tak ingin seperti
Selamanya. Yang kuingin
Pengganti yang lebih baik.
Kalaulah harus menangis
Tentu air mataku telah habis.
Hanya kutabahkan hati ini
Semoga kau bahagia di sana
Dan aku, aku tahu kamu bukan yang terbaik untukku.
.
.
Resah Melanda.
Bagaikan sebutir debu
Tertiup angin di padang pasir.
Di antara gelora
Panas dari terik mentari.
Hadirmu bagaikan mimpi,
Laksana embun yang membasahi.
Kemarauku selesai,
Berganti musim nan hijau.
Kamu adalah
Anugerah dari Tuhan.
Sebagai jalan tuk
Menarikku kembali dari tepi jurang kehancuran.
.
.
Terukir Namamu.
Namamu begitu indah,Terukir di sanubari.
Di antara kelopak cinta,
Di antara bunga-bunga
Yang harum aneka aroma.
Ingin kupeluk,
Dengan segenap kasihku,
Agar engkau tahu,
Betapa berharganya dirimu.
.
.
Ingin Kembali.
Aku ingin kembali,Seperti dahulu.
Ketika kamu
Membawa perhatian,
Kepadaku. Setiap waktu.
Ketika kamu
Selalu membela,
Memberiku semangat
Dan meyakinkan diriku,
Bahwa aku amat berharga.
Aku ingin seperti dahulu,
Kembali mengulang masa indah,
Saat kau selalu memberikan,
Seulas senyuman yang begitu mesra.
.
.
Untuk Apa Datang Lagi?
Kau tinggalkan akuDengan segenap luka.
Tak hiraukan diriku
Walaupun berurai air mata.
Kau berlalu pergi
Seolah tak ada cerita.
Tak pedulikan rasa
Walaupun lama kita menata.
Tetapi aku bersyukur,
Pergimu membawa berkah,
Laraku menumbuhkan kekuatan,
Dukaku menerbitkan ketabahan.
Aku tidaklah sama
Seperti ketika pertama berjumpa.
Untuk apa kau datang lagi?
Aku mampu lebih bahagia, setelah kau lama pergi.
.
.
Sebaiknya Aku Menata Diri.
JustruKini aku bersyukur,
Berjumpa seseorang
Yang mengajarkan
Agar kepadaNya berserah,
untukNya segala ibadah,
hidup dan matiku,
bukan untuk menderita,
tapi untuk bermunajat seutuh jiwa.
Kau pergi.
Aku telah menata diri,
Untuk hari-hari akhiratku nanti.
.
.
Pernah Jatuh.
Aku pernah jatuhHingga sulit bangkit.
Terbuang di sudut waktu,
Sedih sendiri. Redup sekali.
Kau yang pernah ada,
Cintanya kian meredup
Tak lagi membawa cahaya bahagia.
Maka biarlah,
Aku kembali pada
Kebahagiaan hakiki
Kepada-Nya aku kembali.
.
Tunggu Aku.
Setelah ini – setelah kita tak bersama lagi.Tunggu aku suatu hari nanti. Bukan dengan patah hati.
Mungkin aku
Kembali datang. Bukan untuk bersama.
Hanya berterimakasih,
Karena telah mendidiku
Menjadi lebih dewasa.
Lebih kuat. Sebab luka yang pernah kau sajikan untukku.
7. Luka Terdalam
Mencintaimu
Dari kejauhan tak selamanya menyakitkan.
Selalu ada kilasan dari kebahagiaan
Menyelusup diam-diam dalam hatiku.
Melihatmu cerita,
Bahagia, dan puas dalam kehidupan
Telah menjadi obat dari luka.
Sebab
Inginku bersamamu
Semata-mata agar kau bahagia.
.
.
Perih.
Aku sudah punya caraUntuk menyembuhkan luka.
Aku sudah menemukan
Bagaimana meredakan perih
Yang dulu terasa begitu pedih.
Cerialah dalam hidupmu,
Bahagiakan orang-orang
Yang menyanyangimu.
Jangan lagi kau toleh
Ke belakang. Apalagi melihat
Kenangan antara aku dan kamu.
Sebab
Aku khawatir,
Ada penyesalan
Yang dapat merusakan.
.
.
Jangan Menangis.
Tetes air mata adalah caraAgar luka tak bersemayam
Dalam dada.
Jangan biarkan
Kata “andai” memasukinya.
Sebab itu hanya untuk mereka,
Yang ingin berlarut-larut dalam nestapa.
Menyesali bukanlah cara
Untuk mendatangkan bahagia.
Melainkan taburan garam
Di atas perih yang sudah ada.
Cobalah bangkit.
Kembali pada Allah, Tuhan semesta.
Karena bersama-Nya
Terhapus segala duka.
.
.
Biarkan saja.
Biarkan sajaSemua kenangan terkubur
Dalam-dalam. Sebab dia kelam.
Bukalah cakrawala
Yang indah. Menantikan kehadiran
Dari dirimu dan senyumannya.
.
.
8. Hati Seorang Wanita
Sebelum Berbeda.
Dahulu, saat semuanya belum berubah;saat segalanya diperjuangkan bersama-sama:
kamu selalu ada
dengan seulas senyuman
yang begitu indah.
Jenak yang sengsara
Membuatmu setia: menemani
Tanpa lelah beriring dengan doa.
Jadi, apakah kini kamu telah letih?
Ataukah putus asa? Atau kamu kecewa?
Setahuku,
Hari ini, kamu adalah bukan kamu yang dulu.
.
.
Iri.
Aku sangat iriPada dirimu yang berhasil
Mendapatkan hati yang bahagia.
sebab keikhlasannya demikian jernih,
sehingga mendekaplah padamu - dengan kehangatan - segenap
yang bernama bahagia, rasa nyaman, dan kasih sayang.
Aku sangat iri padamu.
Yang wajahnya memiliki cahaya yang hanya dimiliki orang-orang berjiwa teduh.
.
.
Mimpiku.
Bersamamu, mimpiku hanyalahIngin kamu mengecap luasnya bentangan tenang.
Memberitahukanmu, terbangkanlah jiwamu
Tinggi-tinggi. Lepaskanlah ikatan duniawi.
Kamu tahu,
Tenang itu justru saat kau
Tak lagi terikat dengan tarikan duniawi.
.
.
Berpisah.
Bila akhirnya kamu meminta berpisah,Aku ingin menjadi orang paling bahagia.
Sebab telah puas
Menuliskan kebaikan sebisaku,
Mengorbankan semampuku,
Dan mendoakan kebaikan untukmu, selalu.
Bahwa aku
Mengakui segala salah,
Memperbaikinya tanpa lelah.
Tanpa pembelaan yang mungkin bisa merendahkanmu.
.
.
Pengganti.
Meskipun tak bersama, masa lalumu tak pernah tergantikan.Tak dipungkiri, ada jenak kebahagiaan saat senyumanmu datang membayang.
.
.
Di balik amarah,
Aku selalu terpuruk dalam penyesalan.
Amarah itu
Telah membuatk tubuhku ringkih,
Serupa tangkai tua, ambruk tersapu badai.
Bisakah kau
Obati beribu luka pada tubuhku?
Mampukah
Menyembuhkan lara pada jiwaku?
Serta menerima
Apa adanya siapa diriku.
.
.
Kamu.
Kamu begitu indah bagiku.Sabarmu bagai telaga
Tempat tumpahkan segala resahku.
Teduhmu lebih dari gerimis
Mengusir panas dari amarahku.
Dan kasihmu,
Mendekap mesra. Meruntuhkan
Kecemasanku.
Terimakasih
Untuk semua nikmat hidup ini.
.
.
Di antara malam-malam sunyi,
Senyumanmu yang paling tampak
Di mataku.
Mencintaimu, begitu menggemaskan.
Aku teringat, senyum sendiri.
9. Sakit Hati Diselingkuhi
Melepaskanmu.
Untuk seseorang yang pernahAku jatuh cinta padanya,
Untuk seseorang yang pernah
Meletakan harapanku padanya,
Untuk seseorang yang pernah,
Membuatku termimpi di masa depan,
Untuk seseorang yang pernah
Mengganggu tidur malamku,
Untuk seseorang yang tak pernah
Tahu berterimakasih.
Aku melepaskanmu. Hari ini.
.
.
Aku Pernah.
Aku pernah menjadikanmu impianku,Aku pernah menjadikanmu tempat berteduhku.
Aku pernah melepaskan resahku padamu,
Aku pernah menceritakan impian terindahku,
Menjadikanmu senjaku – waktu terindah.
Menjadikanmu hujanku – tempat tumpah air mata.
Semuanya telah berakhir.
Entah ke mana. Tiba-tiba aku seperti kehilanganmu, semestaku.
Dan engkau-pun kehilanganku, salah satu bintang, dari bintang-bintangmu.
Puisi by Echaviva.
.
.
Kubiarkan.
Kamu, satu-satunya orang yang kubiarkan,Mengusik telaga rinduku.
Kamu, kubiarkan bermain
Di sela-sela pohon cintaku.
Karena aku tahu,
Hatiku tertawan oleh
Kepolosan senyumanmu.
Tapi itu dulu.
Kini sepertinya
Dunia telah merusak segala rasa;
Semua keindahan jiwa.
Perlahan-lahan
Kamu pergi, sembari
Menaburkan sebilah luka.
.
.
Untuk Lelaki Yang Kupatahkan Hatinya.
Untuk pria yang kupatahkan hatinya.Duduklah.
Dengarkanlah. Aku ingin bicara.
Maafkan – bukannya aku tega. Tapi memang ketegasan lebih aku butuhkan daripada mengalah pada rasa.
Aku memahami keinginanmu.
Juga penghormatanmu kepadaku.
Tapi –
Waktu tak mungkin berhenti. Ia kan terus mengalir. Jauh sekali. Meninggalkan diriku.
Sedangkan dihadapanku, ada lentera terang yang begitu jelas akan menerangi jalan hidupku.
Cinta –
Aku lebih memilih cinta
Yang mendapatkan restu
Dari Dia Yang Maha Pemurah.
Bukan cinta –
Yang mengundang dosa dan bencana.
10. Mencintai Yang Telah Pergi
A k u masih mencintaimu.
Tidak. A k u masih sangat mencintaimu.
Semenjak kau pergi,
Sepi menyergapku.
Sepi itu hanya satu
Dari sekian pertanda,
Bahwa cintaku padamu
Tak pernah padam. Hari ini. Esok. Dan entah sampai kapan.
Meskipun pedih.
Kutabahkan hati. Pergimu aku memahami.
Bukan untuk menyakitiku,
Tapi aku tahu, kamu berlari
Dari genangan air menuju samudra
Yang bahkan kau tak tau tepinya.
Ya, itulah kebahagiaan yang kau temukan.
Maka jika
Kau berbahagia di sana,
Aku tak akan pernah mengusik, sedikitpun jua.
Karena aku bukan sekedar mencintaimu,
Aku juga menghormatimu.
.
.
Untukmu Yang Di Sana.
Tidak semua masa lalu itu indah.Adakalanya lebih baik menyelipkannya
di antara kesibukan hari-hari.
Untuk kamu yang di sana.
Jangan pernah datang lagi.
Atau sekedar mengorek masa lalu
Yang telah kukubur jauh-jauh.
Aku telah mencintaimu,
Dan cukup bagiku.
Telah selesai cintaku,
Selesai pula keinginanku.
Tak mungkin lagi
Aku membuka pintu harapan,
Pada dirimu, yang membuka pintu kelam.
.
.
Mencintaimu Sepanjang Waktu.
Semenjak kepergianmu,Barulah aku tahu pedihnya sembilu.
Semenjak kepergianmu,
Barulah aku tahu artinya rindu.
Dulu – ketika hari-hari bersama,
Betapa nikmatnya hidup.
Tawamu yang renyah,
Tatapanmu yang penuh kasih,
Dan cemberutmu yang begitu aku suka.
Aku rindu,
Menikmati pemandangan
Dimana engkau memegang mushaf
Dan menghafal ayat demi ayat.
Aku rindu,
Menikmati jenak
Saat senja tiba menikmati
Secangkir kopi. Bersamamu.
Aku rindu.
Kekasih hatiku. Padamu.
.
.
Kau Patahkan Hati.
Kau patahkanHati milikku yang satu-satunya ini.
Kau pecahkan rasa
Dari seorang yang lemah,
Tak berdaya, mengharap lalu kau bawakan sebongkah kecewa.