Puisi SENJA Yang Indah di Pelabuhan Kecil Yang Berhujan #211
Kamu.
Ya kamu.
Kamu adalah senjaku.
Indah. Indah sekali.
Tapi sebentar saja. Lalu pergi.
.
.
.
kieta _ Anna Noor Jannah
Di bawah ini adalah koleksi puisi senja terbaik.
Pelabuhan. Pernahkah kamu duduk di sana. Seorang diri sembari menikmati. Debur ombak dan gelombang. Angin sepoi dan menerjang.
Rindu diriku pada pelabuhan kecil. Menatap perahu nelayan yang bersandar. Atau pada deru angin yang datang.
Di sinilah. Aku tuliskan puisi. Puisi senja di pelabuhan kecil. Puisi galau di senja yang mulai memerah.
Datang padaku. Maka aku datang padamu...
...pelabuhan kecilku.
Di dekapanmu,
Kurasakan lapangnya kehidupan,
Luasnya rahmat Tuhan, dan banyaknya debur kebahagiaan.
Bersamamu,
Aku menuliskan puisi indah
Yang merekam jejak langkahku.
Maka,
Senja itu selalu kurindu.
Datangnya selalu kunanti.
Deburnya selalu kunikmati.
Dan aromanya tak pernah hilang dari hati.
Lalu kulepaskan pandanganku. Pada pertemuan laut dan langit. Yang seolah menyatu. Walau tak pernah tahu, bagaimanakah caranya.
Hatiku berkata bahwa ia mencintai lautan. Mencintai pantainya yang begitu indah. Pada debur ombaknya yang bergerak bagai madah.
Karena lautan dan pantai adalah guru yang tak berkata. Tetapi ia mengejakan berbagai makna.
Debur ombak mengajarkan kepada jiwaku, bahwa hidup mestilah bergerak, tanpa henti. Datang dari tempat nun jauh di sana, menuju tempat dimana manusia mencari bahagia.
Gelombang mengajarkan kepada jiwaku, bahwa hidup mestilah bertenaga. Bergerak senantiasa melewati hamparan samudra.
Dan batu karang mengajarkan kepada jiwaku, bahwa diri ini mestilah tegar tak tergoyahkan. Walaupun badai datang menerjang.
Di pelabuhan kecil ini, kutuliskan kata-kata dari lisan semesta. Dan akan kukirimkan kepadamu, sebagai hadiah dari kedalaman lubuk jiwa.
Kamu tak pernah tahu,
Bagaimana dalamnya cintaku.
Seperti diriku
Yang juga tak tahu
Bagaimana dalamnya samudra.
Tapi kamu harus tahu,
Bahwa di suatu senja,
Ada keindahan yang tak pernah kulupa.
Saat hatiku mengerti,
Bahwa aku telah memilih dirimu
Sebagai pasangan hidup ini.
Yang kuterima sepenuhnya,
Kucintai selamanya,
Dan kurindukan tanpa jeda.
Aku menanti.
Setiap kali senja datang,
Tiba-tiba aku merindukan,
Pada seseorang, yang begitu kukenal.
Itulah kamu.
Yang dulu pernah bersamaku,
Menangis dan tertawa bersama,
Berjuang menggapai cita-cita.
Lalu ketika
Musim berhias tiba,
Lalu engkau pergi untuk selamanya.
Aku sepi. Sepi sekali.
Padahal aku seorang lelaki.
Saat aku tahu
Bahwa kau bukan lagi milikku.
Ke mana harus kucari,
Pengganti dari seorang bidadari?
Sedangkan kamu adalah kamu,
Yang tak kutemukan padanannya.
Menitik air mataku,
Bercampur dengan air laut
Biarlah menghilang
Seperti hilangnya dirimu.
Yang kuabadikan selamanya,
Ditulis dengan air mata,
Tersimpan dalam jiwa.
Ingin kutuliskan sebuah kata
yang dipenuhi dengan makna,
dihiasi sepenuh rasa
dalam wadah bijaksana.
***
Aku pernah melihat senja indah. Sangat indah.
Langitnya biru semu hijau. Awan-awannya tipis laksana sapuan lukisan. Bercampur dengan cahaya keemasan.
Seolah di sana ada para bidadari, yang sedang menari.
Saat seulas senyuman kau lemparkan.
Hatiku bahagia,
Sebab aku tahu
Wanita cantik di hadapanku adalah milikku.
Tatapan yang begitu teduh,
Senyuman yang begitu indah,
Semuanya tampak sempurna...
...pada senja yang mulai memerah.
Pada senja indah di masa lalu.
Ketika melewati ilalang
Yang bunganya putih
Diterbangkan angin.
Saat aku berjalan
Dari rumah menuju surau
Dan awan gemawan
Bergulung-gulung di atas sana.
Seperti sekumpulan makhluk
Yang tak kukenal namanya.
Senja itu begitu indah,
Terkenang daku
Sepenuh rasa.
Saat kita duduk berdua,
Di tepi pantai di waktu senja.
Saat ombak bergulung-gulung,
Pecah di bibir pantai, lalu berdebur.
Ingatkah kamu,
Saat kita menikmati sang surya
Yang kan tenggelam nun jauh di sana.
Dia begitu indah,
Seperti bulatan rembulan,
Padahal dialah sang surya.
Perlahan—lahan dia turun,
Tenggelam di pertemuan langit dan lautan.
Ingatkah kamu,
Ada diriku di waktu itu.
Karena ia begitu indah.
Kucari kata-kata
Ingin kubuatkan sebuah madah.
Agar senja ini tak terlupa
Agar ia tersimpan rapi
Di peti kenangan
Kelak saat aku tua.
Bahwa:
Pernah di satu senja
Aku merasa hidup ini begitu indah.
Rahmat Allah mencurah,
Memelukku dalam bahagia.
Kan kuingat selalu
Bahwa Tuhan maha pemurah,
Akupun tak ingin jauh
Bersama-Nya hilanglah segala gundah.
Betapa agungnya dunia ini.
Terhampar luas di bawah sana,
Bagaikan kain jatuh begitu saja.
Bergelombang sangat indah,
Begitu damai, begitu permai.
Memandang keluasan alam,
Dari puncak gunung saat temaram,
Merasakan kemahakuasaan
Tuhan, semesta alam.
Oh Tuhanku,
Jangan jadikan diriku,
Berada di senja usia
Sedangkan amalku tak ada.
Mudahkan bagiku
Untuk menunaikan titah perintahMu.
Dengan hati penuh ketakwaan,
Dengan jiwa penuh kepasrahan.
Ada rindu yang kusimpan,
Untuk kamu dan masa lalu,
Yang menyenandukan sendu.
@puisi.kakilima
.
.
Ya. Senja itu lekat dengan cinta.
Ia begitu indah. Indah sekali. Tapi...
...tak lama iapun pergi.
Maka hari ini ingin kutuliskan lagi, puisi senja yang membawa aroma cinta. Entah itu cinta di masa lalu ataukah di masa depan.
Karena aku tahu, sesungguhnya cinta tak pernah habis walau dirangkai dalam puisi; walau digambarkan lewat kata, ataupun dibagikan ke alam semesta.
Inilah puisi cinta yang tak akan kulupa.
Yang indah seketika.
Indahnya begitu mendalam,
Merasuk ke dalam sukma.
Walau sebentar bagaikan senja,
Izinkan diriku mengecap bahagia.
Saat kutatap binar matamu,
Yang menyimpan beribu kata,
Menyembunyikan kepedihan jiwa,
Tapi. Tapi kamu lagi-lagi tersenyum.
Seolah kamu adalah orang yang paling bahagia.
Maka izinkan aku menjadi temanmu,
Untuk mengerti arti bahagia di dalam kepahitan; memahami pengorbanan di tengah kesulitan; dan tetap setia meskipun di tengah gelombang pengkhianatan.
Kamu.
Ya kamu.
Kamu adalah senjaku.
Indah. Indah sekali.
Tapi sebentar saja. Lalu pergi.
Hanya saja,
Kenangannya mengabadi.
Terukir dalam, tak bisa dihapuskan.
Karena, karena kamu terlalu indah.
Kamu pasti tahu
Bagaimana rasanya hatiku.
Tentu saja aku sedih,
Sebab di senja itu ada rindu,
Sebuah rasa yang tiada henti
Menyelusup ke dalam hati.
Rindu itu
Tertuju padamu.
Tapi kamu? Ngga pernah ngerti!
Aku langsung memahami
Bahwa aku jatuh cinta, lagi.
Entah mengapa,
Jika kupandang dirimu
Tiba-tiba semua kata menjadi puisi.
Tatapan matamu,
Adalah inspirasi tiada henti.
Senyumanmu,
Adalah keteduhan
Yang mampu membangkitkan
Jiwa dari seorang pujangga.
Di senja yang temaram ini,
Aku tak ingin banyak berkata.
Biarlah segala rasa itu
Meresap perlahan-lahan
Dan bersemayam, jauh di lubuk hatiku.
Menghabiskan umur
Dari usia yang diberi.
Aku di sini,
Terpesona oleh senja yang sangat indah.
Pada temaramnya,
Pada rona merahnya,
Pada warna keemasannya,
Dan pada sepoi angin yang berhembus ke mana saja.
Aku di sini.
Terpesona pada senja,
Dan senja itu adalah kamu.
Kamu lebih dari keindahan,
Bagaikan lukisan; yang ingin kujelaskan
Pada dunia. Tentang garisnya, warna, dan coraknya.
Senja itu adalah kamu.
Yang tak lama lagi hilang.
Lalu jubah malam menghabiskan segala bentuk keindahan.
Merapi.
Satu nama yang abadi.
Telah kukenal lama.
Namun tak pernah bosan jua.
Merapi.
Apa kabarmu hari ini.
.
.
.
Di puncak tertinggi Gunung Merapi.
Aku rasa
Ada banyak kehidupan,
Yang belum kutahu.
Kehidupan yang sunyi
Jauh dari keriuhan.
Kehidupan yang hening,
Jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Memahami bahwa alam ini begitu indah. Yang keindahannya masuk ke dalam sukma.
Seolah mengajarkan diriku,
Bahwa masih ada kehidupan lain
Yang lebih indah. Bukan di sini.
Tapi di sana.
Di ujung waktu
Dari kehidupan kita.
Tentang hati yang terluka.
Aku berlari dari kota,
Mencari sepi. Mencari tenang.
Berharap hatiku pun
Tak terusik riak kehidupan,
Yang nestapa, luka, duka, kadang ada pengkhianatan.
Di sini. Aku mencari sepi.
Mendidik hati agar tak berharap
Pada segala yang dinamakan makhluk.
Hanya pada-Nya
Kuadukan duka dan laraku.
Hatimu yang satu-satunya itu?
Akankah kau berikan
Pada seseorang yang hanya melukaimu.
Lihatlah.
Di sini aku menanti. Setia sekali.
Menanti kedatanganmu,
Untuk menyerahkan segala luka,
Duka, lara, dan nestapa itu.
Kan kupetiki segenap
Yang bernama sengsara
Semampuku, dari dalam hatimu.
Hingga
Kau merasa bahwa
Tak pernah hidupmu berduka.
Senja yang merona
Ke pangkuan Bumi.
Mengajakku untuk rebah,
Melepas segala lelah.
Hentikan sejenak
Semua kegaduhan itu.
Marilah menyesap udara murni,
Melumuri hati dengan keindahan sejati.
Betapa agungnya Tuhan
Yang mengajarkan
Bahwa hidup mestilah dalam ketenangan.
Indah dan mempesona
Walaupun hanya sesaat saja.
Dan kaulah senjaku,
Kan kutunggu.
Ingin kurasakan indahnya
Meski sesaat tak selamanya.
Saat surya tenggelam,
Terbitlah dalam hatiku
Penyesalan mendalam
Tentang masa lalu
Yang begitu kelam.
.
.
.
Kita hanya manusia. Pernah berbuat dosa. Pernah bersalah. Bukan tenggelam dalam penyesalan tak berguna. Melainkan penyesalan yang membawa kepada masa depan cerah.
Saat sang surya
Menyelusup pelan-pelan
Ke tepi bumi.
Saat cahaya
Mulai merona dalam merah
Bercampur warna emasnya
Di antara hamparan biru langit
Dalam balutan suasana terindah.
Tercenung diriku,
Seolah senja itu adalah aku.
Yang setiap hari
Habis pula jatah umurku.
Senja itu
Ibarat ujung dari usia
Perlahan tapi pasti
Ke sana pula arah hidupku.
Kusadari
Esok, pasti selesai pula masa mudaku.
Lalu pergi selamanya. Tapi apa hanya dosa yang kubawa?
Kan berlalu masa siang.
Akan usai masa terang,
Duduk sendiri banyak mengenang.
Rupanya usia bagai senja,
Semakin tua tak terasa,
Selama ini sibuk dengan dunia,
Kepada akhirat malah terlupa.
Ingat-ingat kepada mati,
Yang datang sebentar lagi,
Ingat rambut sudah memutih,
Gigi tanggal tak tumbuh lagi.
Ini lah sajak di waktu senja,
Sebagai pengingat untuk semua,
Bahwa hidup tak selamanya,
Ke akhirat pula tempat pulang kita.
gadis manis berkerudung biru,
Berjalan di waktu senja,
Di jalan setapak , di jalan desa.
Wajah putih bersih sekali
Menyiratkan suasana hati
Penuh damai dan sejahtera
Serasa hidup penuh sentosa.
Rona senja
Sejenak di sini.
Menikmati masa-masa indah
Udara desa harum dan wangi.
Aku terpekur seorang diri.
Menggamit masa kelam
Yang penuhi masa silam.
Rinduku padamu tak padam,
Meski gelora di dalam dada.
Tetapi,
Aku harus pergi.
Pergi jauh dari masa lalu,
Yang hanya memberi sengsara.
Duhai diri,
Inilah saat bagimu,
Untuk kembali.
Selagi masih ada waktu,
Selagi masih ada usia,
Jangan biarkan ia berlalu begitu saja.
Seperti gerimisnya senja ini.
Beribu bahagia
Menetes ke lantai jiwa.
Senja itu aku cinta.
Hujan itu aku suka.
Kini datang bersama-sama.
.
.
.
Senja kala memang selalu indah. Inilah beberapa senja dengan kopi. Sebuah kombinasi yang begitu serasi.
Aku masuki kotamu.
Ah,
ternyata
ada gejolak rasa
di dalam sana.
Mungkin
Aku tak lagi bersamamu,
Namun kenangan itu
Belum berlalu.
Di sini,
Aku sekedar singgah. Sebentar sekali.
Sekedar menyesap
Secangkir kopi.
Sambil mengenang
dan bertanya, apa kabarmu?
Di telingaku.
Kata-kata, canda, dan tawamu.
Kenapa hari ini
Aku merasakannya
Begitu indah.
Padahal
Lama sudah berlalu itu kisah.
Senja ini begitu merah.
Dengan secangkir kopi ,
Dan juga kenangan tentang sebuah kisah.
Yang pahit itu luka.
Kadangkala, pahitnya adalah cita rasa.
Bagai kopi.
Pahitnya mendatangkan gula.
Begitu juga indahnya senja,
Tidak selamanya indah.
Bisa jadi ia hanya datang
Sekedar mengingatkan
Bahwa akan hadir pekat malam.
Dalam sebuah puisi.
Sebab indahnya
Begitu mewah. Tak ingin aku kehilangannya.
Karena senja ini berhujan,
Turun bergerimis. Laksana untaian mutiara dari negeri yang tak dikenal.
Diam-diam. Hatikupun merasakan senandung syahdu. Sebuah rasa antara rindu, sedih, dan bahagia.
Ingin kurekam,
Rasa hatiku di saat senja yang berhujan ini.
Aku tidak apa-apa.
Karena aku tahu,
Ada luka dalam hatimu.
Jangan kau tahankan,
Air mata menitik jatuh,
Karena kutahu, ada duka dalam dadamu.
Kalaulah hujan disertai badai,
Akan datang tenang setelahnya.
Kalaulah senja disertai temaram,
Akan datang bintang sesudahnya.
Tahukah kamu,
Setelah kegelapan, selalu ada cahaya terang.
Tentu tak kubiarkan kau pergi. Sendiri.
Berjuang merangkai masa depan.
Melawan ketidakpastian.
Aku ingin. Ingin sekali menemani,
Di saat kau terluka, biarlah aku yang obati.
Saat kau terjatuh, biarlah aku yang membuatmu tegak berdiri.
Dan saat kau putus asa, biarlah aku yang membangkitkan semangat itu.
Tapi.
Mengapa aku menjadi pengecut begini.
Ataukah kurangnya rasa cintaku.
Senja ini,
Aku ingin mengulangi lagi
Duduk berduamu, bercerita tentang mimpi.
Baru saja aku lepaskan
Segala beban, dalam sujud panjang.
Bermunajat pada-Nya
Di waktu menjelang senja.
Betapa indah,
Tiba-tiba hujan bergerenyai,
Seperti mengajakku berpuisi,
Menuliskan segala rasa dalam hati.
Memang begitu yang kuinginkan.
Karena kaupun tahu,
Kebersamaan ini adalah cinta
Tetapi membawa dosa.
Yang kuingin
Marilah kita bangun masa depan.
Jika tiba masanya,
Kan kutemui dirimu,
Kupinang, dan kuajak duduk di pelaminan.
Sebab
Cinta hakiki
Adalah cinta yang membawa kita bahagia, di dunia hingga ke surga.
Bukan karena cinta,
Aku terluka.
Karena benci
Padamu.
Mungkin begitu
Salahku.
Di balik senja,
Ada cerita.
Tentang dia
Yang pernah ada.
Mengisi cerita
Dari cerita dalam jiwa.
Bisa jadi
Senja itu berlalu.
Tak menyisakan cerita
Meski pernah melewatinya.
Sebab bagimu
Aku, tak pernah hadir dalam hidupmu.
.
.
.
Puisi senja telah ditulis. Silakan lihat juga: puisi kamu mengecewakan, puisi kehidupan antara duka dan bahagia. Atau puisi lainnya.
Ya kamu.
Kamu adalah senjaku.
Indah. Indah sekali.
Tapi sebentar saja. Lalu pergi.
.
.
.
kieta _ Anna Noor Jannah
Di bawah ini adalah koleksi puisi senja terbaik.
Waktu senja merupakan salah satu moment yang banyak dicintai. Ada kesan misterius di dalamnya. Menjadi inspirasi bagi para pujangga. |
1. Puisi Senja di Pelabuhan Kecil
Pelabuhan. Pernahkah kamu duduk di sana. Seorang diri sembari menikmati. Debur ombak dan gelombang. Angin sepoi dan menerjang.
Rindu diriku pada pelabuhan kecil. Menatap perahu nelayan yang bersandar. Atau pada deru angin yang datang.
Di sinilah. Aku tuliskan puisi. Puisi senja di pelabuhan kecil. Puisi galau di senja yang mulai memerah.
Kunanti.
Setiap kali resahDatang padaku. Maka aku datang padamu...
...pelabuhan kecilku.
Di dekapanmu,
Kurasakan lapangnya kehidupan,
Luasnya rahmat Tuhan, dan banyaknya debur kebahagiaan.
Bersamamu,
Aku menuliskan puisi indah
Yang merekam jejak langkahku.
Maka,
Senja itu selalu kurindu.
Datangnya selalu kunanti.
Deburnya selalu kunikmati.
Dan aromanya tak pernah hilang dari hati.
Debur-Debur Kehidupan (Kahlil Gibran isme)
Perlahan-lahan kakiku melangkah. Pada pasir putih. Pada buih. Pada ombak yang tak henti bergelombang.Lalu kulepaskan pandanganku. Pada pertemuan laut dan langit. Yang seolah menyatu. Walau tak pernah tahu, bagaimanakah caranya.
Hatiku berkata bahwa ia mencintai lautan. Mencintai pantainya yang begitu indah. Pada debur ombaknya yang bergerak bagai madah.
Karena lautan dan pantai adalah guru yang tak berkata. Tetapi ia mengejakan berbagai makna.
Debur ombak mengajarkan kepada jiwaku, bahwa hidup mestilah bergerak, tanpa henti. Datang dari tempat nun jauh di sana, menuju tempat dimana manusia mencari bahagia.
Gelombang mengajarkan kepada jiwaku, bahwa hidup mestilah bertenaga. Bergerak senantiasa melewati hamparan samudra.
Dan batu karang mengajarkan kepada jiwaku, bahwa diri ini mestilah tegar tak tergoyahkan. Walaupun badai datang menerjang.
Di pelabuhan kecil ini, kutuliskan kata-kata dari lisan semesta. Dan akan kukirimkan kepadamu, sebagai hadiah dari kedalaman lubuk jiwa.
Suatu Senja, Di Pelabuhan Cinta.
Aku kira,Kamu tak pernah tahu,
Bagaimana dalamnya cintaku.
Seperti diriku
Yang juga tak tahu
Bagaimana dalamnya samudra.
Tapi kamu harus tahu,
Bahwa di suatu senja,
Ada keindahan yang tak pernah kulupa.
Saat hatiku mengerti,
Bahwa aku telah memilih dirimu
Sebagai pasangan hidup ini.
Yang kuterima sepenuhnya,
Kucintai selamanya,
Dan kurindukan tanpa jeda.
Kunanti Di Ujung Senja.
Di pelabuhan kecil ini,Aku menanti.
Setiap kali senja datang,
Tiba-tiba aku merindukan,
Pada seseorang, yang begitu kukenal.
Itulah kamu.
Yang dulu pernah bersamaku,
Menangis dan tertawa bersama,
Berjuang menggapai cita-cita.
Lalu ketika
Musim berhias tiba,
Lalu engkau pergi untuk selamanya.
Aku sepi. Sepi sekali.
Menitik Air Mataku.
Menitik air mataku,Padahal aku seorang lelaki.
Saat aku tahu
Bahwa kau bukan lagi milikku.
Ke mana harus kucari,
Pengganti dari seorang bidadari?
Sedangkan kamu adalah kamu,
Yang tak kutemukan padanannya.
Menitik air mataku,
Bercampur dengan air laut
Biarlah menghilang
Seperti hilangnya dirimu.
Ingin Kutulis Puisi.
Ingin kutuliskan puisi senja,Yang kuabadikan selamanya,
Ditulis dengan air mata,
Tersimpan dalam jiwa.
Ingin kutuliskan sebuah kata
yang dipenuhi dengan makna,
dihiasi sepenuh rasa
dalam wadah bijaksana.
***
2. Puisi Senja Yang Indah, Kuabadikan Dalam Kenangan
Aku pernah melihat senja indah. Sangat indah.
Langitnya biru semu hijau. Awan-awannya tipis laksana sapuan lukisan. Bercampur dengan cahaya keemasan.
Seolah di sana ada para bidadari, yang sedang menari.
Senja Bersamamu.
Senja itu begitu indah,Saat seulas senyuman kau lemparkan.
Hatiku bahagia,
Sebab aku tahu
Wanita cantik di hadapanku adalah milikku.
Tatapan yang begitu teduh,
Senyuman yang begitu indah,
Semuanya tampak sempurna...
...pada senja yang mulai memerah.
Senja Begitu Indah.
Terkenang dakuPada senja indah di masa lalu.
Ketika melewati ilalang
Yang bunganya putih
Diterbangkan angin.
Saat aku berjalan
Dari rumah menuju surau
Dan awan gemawan
Bergulung-gulung di atas sana.
Seperti sekumpulan makhluk
Yang tak kukenal namanya.
Senja itu begitu indah,
Terkenang daku
Sepenuh rasa.
Senja Indah di Pantai.
Ingatkah kamu,Saat kita duduk berdua,
Di tepi pantai di waktu senja.
Saat ombak bergulung-gulung,
Pecah di bibir pantai, lalu berdebur.
Ingatkah kamu,
Saat kita menikmati sang surya
Yang kan tenggelam nun jauh di sana.
Dia begitu indah,
Seperti bulatan rembulan,
Padahal dialah sang surya.
Perlahan—lahan dia turun,
Tenggelam di pertemuan langit dan lautan.
Ingatkah kamu,
Ada diriku di waktu itu.
Senja.
Kupuisikan senjaKarena ia begitu indah.
Kucari kata-kata
Ingin kubuatkan sebuah madah.
Agar senja ini tak terlupa
Agar ia tersimpan rapi
Di peti kenangan
Kelak saat aku tua.
Bahwa:
Pernah di satu senja
Aku merasa hidup ini begitu indah.
Rahmat Allah mencurah,
Memelukku dalam bahagia.
Kan kuingat selalu
Bahwa Tuhan maha pemurah,
Akupun tak ingin jauh
Bersama-Nya hilanglah segala gundah.
Di Puncak Gunung.
Oh,Betapa agungnya dunia ini.
Terhampar luas di bawah sana,
Bagaikan kain jatuh begitu saja.
Bergelombang sangat indah,
Begitu damai, begitu permai.
Memandang keluasan alam,
Dari puncak gunung saat temaram,
Merasakan kemahakuasaan
Tuhan, semesta alam.
Oh Tuhanku,
Jangan jadikan diriku,
Berada di senja usia
Sedangkan amalku tak ada.
Mudahkan bagiku
Untuk menunaikan titah perintahMu.
Dengan hati penuh ketakwaan,
Dengan jiwa penuh kepasrahan.
3. Puisi Senja Cinta
Senja Yang Berhujan.
Di senja yang berhujan,Ada rindu yang kusimpan,
Untuk kamu dan masa lalu,
Yang menyenandukan sendu.
@puisi.kakilima
.
.
Ya. Senja itu lekat dengan cinta.
Ia begitu indah. Indah sekali. Tapi...
...tak lama iapun pergi.
Maka hari ini ingin kutuliskan lagi, puisi senja yang membawa aroma cinta. Entah itu cinta di masa lalu ataukah di masa depan.
Karena aku tahu, sesungguhnya cinta tak pernah habis walau dirangkai dalam puisi; walau digambarkan lewat kata, ataupun dibagikan ke alam semesta.
Inilah puisi cinta yang tak akan kulupa.
Walau Bagai Sepotong Senja.
Walau bagai sepotong senja,Yang indah seketika.
Indahnya begitu mendalam,
Merasuk ke dalam sukma.
Walau sebentar bagaikan senja,
Izinkan diriku mengecap bahagia.
Saat kutatap binar matamu,
Yang menyimpan beribu kata,
Menyembunyikan kepedihan jiwa,
Tapi. Tapi kamu lagi-lagi tersenyum.
Seolah kamu adalah orang yang paling bahagia.
Maka izinkan aku menjadi temanmu,
Untuk mengerti arti bahagia di dalam kepahitan; memahami pengorbanan di tengah kesulitan; dan tetap setia meskipun di tengah gelombang pengkhianatan.
Kamu Senjaku.
Kamu.
Ya kamu.
Kamu adalah senjaku.
Indah. Indah sekali.
Tapi sebentar saja. Lalu pergi.
Hanya saja,
Kenangannya mengabadi.
Terukir dalam, tak bisa dihapuskan.
Karena, karena kamu terlalu indah.
Cinta di Balik Senja.
Kalau senja datang,Kamu pasti tahu
Bagaimana rasanya hatiku.
Tentu saja aku sedih,
Sebab di senja itu ada rindu,
Sebuah rasa yang tiada henti
Menyelusup ke dalam hati.
Rindu itu
Tertuju padamu.
Tapi kamu? Ngga pernah ngerti!
Puisi Aku Kamu dan Senja.
Ketika mata memandangmu,Aku langsung memahami
Bahwa aku jatuh cinta, lagi.
Entah mengapa,
Jika kupandang dirimu
Tiba-tiba semua kata menjadi puisi.
Tatapan matamu,
Adalah inspirasi tiada henti.
Senyumanmu,
Adalah keteduhan
Yang mampu membangkitkan
Jiwa dari seorang pujangga.
Di senja yang temaram ini,
Aku tak ingin banyak berkata.
Biarlah segala rasa itu
Meresap perlahan-lahan
Dan bersemayam, jauh di lubuk hatiku.
Senja Itu Kamu.
Melewati hari-hariMenghabiskan umur
Dari usia yang diberi.
Aku di sini,
Terpesona oleh senja yang sangat indah.
Pada temaramnya,
Pada rona merahnya,
Pada warna keemasannya,
Dan pada sepoi angin yang berhembus ke mana saja.
Aku di sini.
Terpesona pada senja,
Dan senja itu adalah kamu.
Kamu lebih dari keindahan,
Bagaikan lukisan; yang ingin kujelaskan
Pada dunia. Tentang garisnya, warna, dan coraknya.
Senja itu adalah kamu.
Yang tak lama lagi hilang.
Lalu jubah malam menghabiskan segala bentuk keindahan.
4. Puisi Senjakala Gunung Merapi
Merapi.
Satu nama yang abadi.
Telah kukenal lama.
Namun tak pernah bosan jua.
Merapi.
Apa kabarmu hari ini.
.
.
.
Kita Pernah.
Kita pernah di sana.Di puncak tertinggi Gunung Merapi.
Aku rasa
Ada banyak kehidupan,
Yang belum kutahu.
Kehidupan yang sunyi
Jauh dari keriuhan.
Kehidupan yang hening,
Jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Memahami bahwa alam ini begitu indah. Yang keindahannya masuk ke dalam sukma.
Seolah mengajarkan diriku,
Bahwa masih ada kehidupan lain
Yang lebih indah. Bukan di sini.
Tapi di sana.
Di ujung waktu
Dari kehidupan kita.
Senjakala di Gunung Merapi.
Ini senja menjadi saksi,Tentang hati yang terluka.
Aku berlari dari kota,
Mencari sepi. Mencari tenang.
Berharap hatiku pun
Tak terusik riak kehidupan,
Yang nestapa, luka, duka, kadang ada pengkhianatan.
Di sini. Aku mencari sepi.
Mendidik hati agar tak berharap
Pada segala yang dinamakan makhluk.
Hanya pada-Nya
Kuadukan duka dan laraku.
Rona Senja.
Ke mana lagi kau labuhkanHatimu yang satu-satunya itu?
Akankah kau berikan
Pada seseorang yang hanya melukaimu.
Lihatlah.
Di sini aku menanti. Setia sekali.
Menanti kedatanganmu,
Untuk menyerahkan segala luka,
Duka, lara, dan nestapa itu.
Kan kupetiki segenap
Yang bernama sengsara
Semampuku, dari dalam hatimu.
Hingga
Kau merasa bahwa
Tak pernah hidupmu berduka.
Senja di Alam Raya.
Dan tibalah juaSenja yang merona
Ke pangkuan Bumi.
Mengajakku untuk rebah,
Melepas segala lelah.
Hentikan sejenak
Semua kegaduhan itu.
Marilah menyesap udara murni,
Melumuri hati dengan keindahan sejati.
Betapa agungnya Tuhan
Yang mengajarkan
Bahwa hidup mestilah dalam ketenangan.
Cinta di Ujung Senja.
Jadilah seperti senjaIndah dan mempesona
Walaupun hanya sesaat saja.
Dan kaulah senjaku,
Kan kutunggu.
Ingin kurasakan indahnya
Meski sesaat tak selamanya.
5. Puisi Senja Islami
Saat surya tenggelam,
Terbitlah dalam hatiku
Penyesalan mendalam
Tentang masa lalu
Yang begitu kelam.
.
.
.
Kita hanya manusia. Pernah berbuat dosa. Pernah bersalah. Bukan tenggelam dalam penyesalan tak berguna. Melainkan penyesalan yang membawa kepada masa depan cerah.
Senja Itu Begitu Bermakna.
Saat senjaSaat sang surya
Menyelusup pelan-pelan
Ke tepi bumi.
Saat cahaya
Mulai merona dalam merah
Bercampur warna emasnya
Di antara hamparan biru langit
Dalam balutan suasana terindah.
Tercenung diriku,
Seolah senja itu adalah aku.
Yang setiap hari
Habis pula jatah umurku.
Senja itu
Ibarat ujung dari usia
Perlahan tapi pasti
Ke sana pula arah hidupku.
Kusadari
Esok, pasti selesai pula masa mudaku.
Lalu pergi selamanya. Tapi apa hanya dosa yang kubawa?
Sajak di Penghujung Senja.
Kala senja datangKan berlalu masa siang.
Akan usai masa terang,
Duduk sendiri banyak mengenang.
Rupanya usia bagai senja,
Semakin tua tak terasa,
Selama ini sibuk dengan dunia,
Kepada akhirat malah terlupa.
Ingat-ingat kepada mati,
Yang datang sebentar lagi,
Ingat rambut sudah memutih,
Gigi tanggal tak tumbuh lagi.
Ini lah sajak di waktu senja,
Sebagai pengingat untuk semua,
Bahwa hidup tak selamanya,
Ke akhirat pula tempat pulang kita.
Rona Senja.
Siapa dia?gadis manis berkerudung biru,
Berjalan di waktu senja,
Di jalan setapak , di jalan desa.
Wajah putih bersih sekali
Menyiratkan suasana hati
Penuh damai dan sejahtera
Serasa hidup penuh sentosa.
Rona senja
Sejenak di sini.
Menikmati masa-masa indah
Udara desa harum dan wangi.
Terpekur.
Di ujung hari ituAku terpekur seorang diri.
Menggamit masa kelam
Yang penuhi masa silam.
Rinduku padamu tak padam,
Meski gelora di dalam dada.
Tetapi,
Aku harus pergi.
Pergi jauh dari masa lalu,
Yang hanya memberi sengsara.
Duhai diri,
Inilah saat bagimu,
Untuk kembali.
Selagi masih ada waktu,
Selagi masih ada usia,
Jangan biarkan ia berlalu begitu saja.
Senja dan Hujan.
Bergerimis hatiku,Seperti gerimisnya senja ini.
Beribu bahagia
Menetes ke lantai jiwa.
Senja itu aku cinta.
Hujan itu aku suka.
Kini datang bersama-sama.
.
.
.
6. Puisi Senja dan Kopi
Senja kala memang selalu indah. Inilah beberapa senja dengan kopi. Sebuah kombinasi yang begitu serasi.
Senja Di Kotamu.
Baru sajaAku masuki kotamu.
Ah,
ternyata
ada gejolak rasa
di dalam sana.
Mungkin
Aku tak lagi bersamamu,
Namun kenangan itu
Belum berlalu.
Di sini,
Aku sekedar singgah. Sebentar sekali.
Sekedar menyesap
Secangkir kopi.
Sambil mengenang
dan bertanya, apa kabarmu?
Secangkir Kopi dan Senja Merah.
Masih terngiangDi telingaku.
Kata-kata, canda, dan tawamu.
Kenapa hari ini
Aku merasakannya
Begitu indah.
Padahal
Lama sudah berlalu itu kisah.
Senja ini begitu merah.
Dengan secangkir kopi ,
Dan juga kenangan tentang sebuah kisah.
Senja dan Kopi.
Tak selamanyaYang pahit itu luka.
Kadangkala, pahitnya adalah cita rasa.
Bagai kopi.
Pahitnya mendatangkan gula.
Begitu juga indahnya senja,
Tidak selamanya indah.
Bisa jadi ia hanya datang
Sekedar mengingatkan
Bahwa akan hadir pekat malam.
7. Senja Yang Berhujan
Senja Dalam Puisi.
Senja ini ingin kutuliskanDalam sebuah puisi.
Sebab indahnya
Begitu mewah. Tak ingin aku kehilangannya.
Karena senja ini berhujan,
Turun bergerimis. Laksana untaian mutiara dari negeri yang tak dikenal.
Diam-diam. Hatikupun merasakan senandung syahdu. Sebuah rasa antara rindu, sedih, dan bahagia.
Ingin kurekam,
Rasa hatiku di saat senja yang berhujan ini.
Senja Yang Terluka.
Jangan kau katakan,Aku tidak apa-apa.
Karena aku tahu,
Ada luka dalam hatimu.
Jangan kau tahankan,
Air mata menitik jatuh,
Karena kutahu, ada duka dalam dadamu.
Kalaulah hujan disertai badai,
Akan datang tenang setelahnya.
Kalaulah senja disertai temaram,
Akan datang bintang sesudahnya.
Tahukah kamu,
Setelah kegelapan, selalu ada cahaya terang.
Senja Bersamamu.
Kalaulah waktu dapat terulang,Tentu tak kubiarkan kau pergi. Sendiri.
Berjuang merangkai masa depan.
Melawan ketidakpastian.
Aku ingin. Ingin sekali menemani,
Di saat kau terluka, biarlah aku yang obati.
Saat kau terjatuh, biarlah aku yang membuatmu tegak berdiri.
Dan saat kau putus asa, biarlah aku yang membangkitkan semangat itu.
Tapi.
Mengapa aku menjadi pengecut begini.
Ataukah kurangnya rasa cintaku.
Senja ini,
Aku ingin mengulangi lagi
Duduk berduamu, bercerita tentang mimpi.
8. Puisi Hujan Dalam Hening
Hujan Bergeranyai.
Baru saja aku lepaskan
Segala beban, dalam sujud panjang.
Bermunajat pada-Nya
Di waktu menjelang senja.
Betapa indah,
Tiba-tiba hujan bergerenyai,
Seperti mengajakku berpuisi,
Menuliskan segala rasa dalam hati.
Kamu Boleh Pergi.
Ya. Kamu boleh pergi.Memang begitu yang kuinginkan.
Karena kaupun tahu,
Kebersamaan ini adalah cinta
Tetapi membawa dosa.
Yang kuingin
Marilah kita bangun masa depan.
Jika tiba masanya,
Kan kutemui dirimu,
Kupinang, dan kuajak duduk di pelaminan.
Sebab
Cinta hakiki
Adalah cinta yang membawa kita bahagia, di dunia hingga ke surga.
9. Puisi Senja 3 Bait Singkat
Salahku.
Bukan karena cinta,
Aku terluka.
Karena benci
Padamu.
Mungkin begitu
Salahku.
Di Balik Senja.
Di balik senja,
Ada cerita.
Tentang dia
Yang pernah ada.
Mengisi cerita
Dari cerita dalam jiwa.
Arti Senja Bagimu.
Bisa jadi
Senja itu berlalu.
Tak menyisakan cerita
Meski pernah melewatinya.
Sebab bagimu
Aku, tak pernah hadir dalam hidupmu.
.
.
.
Puisi senja telah ditulis. Silakan lihat juga: puisi kamu mengecewakan, puisi kehidupan antara duka dan bahagia. Atau puisi lainnya.