Puisi Lama : Pengertian, Jenis, dan Contohnya [Lengkap]

Puisi Lama.  Puisi lama berbeda dengan puisi baru. Perbedaan ini bisa dilihat dari pilihan kata, susunan kalimat, irama, pikiran dan perasaan yang terjal mah di dalamnya.

Kita bisa membedakannya ketika membandingkan puisi lama dengan puisi baru. Puisi itu sendiri merupakan hasil jiwa penyair dan seperti sifat jiwa seorang anak sebagian besar ditentukan oleh sifat orang tuanya dan sifat pergaulan di sekelilingnya.

Pengertian puisi lama

Puisi lama adalah puisi yang sudah ada sejak zaman dahulu dan biasanya digunakan dalam upacara-upacara adat. 

Jenis-jenis puisi lama

Berikut ini merupakan jenis-jenis atau macam-macam puisi lama, yaitu:
  • Pantun
  • Syair
  • Gurindam
  • Mantra
puisi lama


Pantun

Pantun merupakan sajak 4 baris dengan sajak ab ab.

Ciri Pantun

Berikut ini merupakan ciri-ciri pantun.
  • Intisari pantun terdapat dalam 2 baris akhir
  • Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sebagai pembentuk irama.
  • Setiap baris terdiri dari 8 sampai 12 suku kata
Selangkapnya di ciri-ciri pantun secara umum dan terperinci. 

Pada intisari pantun disimpulkan dengan pendek dan indah berupa pikiran, perasaan, nasehat, kebenaran, dan pertanyaan, dan lain-lainnya.

Oleh sebab simpulan itu pendek, jarang lebih dari 8 perkataan, yang sering memakai perumpamaan yang menimbulkan pikiran dan perasaan yang dalam, maka sifat kedua garis itu serupa dengan peribahasa, pepatah, perumpamaan, hiasan, atau pameo yang bersamaan dengan kedua baris penghabisan pantun.

Sementara itu tentu mungkin juga terjadi seseorang sangat tepat dan indah menyimpulkan sesuatu pikiran, nasehat, dan lain-lain dalam kedua baris yang menghabiskan sebuah pantun, sehingga oleh ketepatan dan keindahannya dan oleh karena sering diulang-ulang disebabkan ketepatan dan keindahannya itu, 2 baris itu menjadi peribahasa, pepatah, perumpamaan, kiasan atau pameo.

Contoh pantun


Rambung lantai kan lah di bamban
Padi dan bantah punya buah;
Tanggung rasa ikan lah di badan,
Hati dan mata punya ulah.

Air dalam bertambah dalam,
Hujan di hulu belum lagi teduh;
Hati dendam bertambah dendam,
Dendam dahulu belum lagi sembuh.

Hijau tampak bukit barisan,
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang;
Putuslah nyawa hilanglah badan,
Lamun hati terkenal pulang. 

Gunung tinggi diliputi awan,
Berteduh langit malam dan siang;
Terdengar kampung memanggil taulan,
Rasakan hancur tulang belulang.


DENGARLAH PANTUN

Buah ara, batang dibantun,
Mari dibantun dengan parang.
Hai saudara dengarlah pantun,
Pantun tidak menghargai orang.

Mari dibantun dengan parang,
Berangan besar didalam padi.
Pantun tidak merata orang
janganlah syak di dalam hati.

Berangan besar di dalam padi,
Rumpun buluh dibuat pagar;
Jangan syak di dalam hati,
Maklum pantun saya baru belajar.

TEKA-TEKI

Buah budi bedara mengkal,
Masak sebiji di tepi pantai;
Hilang budi bicara akal,
Buah apa tidak bertangkai?

Pak pung pak Mustafa,
Encih Dullah di rumahnya;
Tepung dengan kelapa
Gula jawa di tengahnya?

Kalau puan, puan cerana,
Ambil gelas di dalam peti;
Kalau tuan bijak laksana,
Binatang apa tanduk di kaki?

SYAIR

Ikatan syair terjadi dari 4 baris yang bersajak; kadang-kadang terdapat juga syair yang bersajak dua-dua baris. 

Tiap-tiap baris panjangnya biasanya 4 kata seperti pantun.

Perbedaan syair dengan pantun.

Beda saya dengan pantun adalah 4 baris pantun biasanya menyimpulkan sesuatu pikiran, perasaan dan lain-lain, yang lengkap. Sedangkan syair hampir selalu memakai lipatan empat.

Kebanyakan syair adalah lukisan yang panjang-panjang, misalnya lukisan suatu cerita, nasehat, ilmu, dan lain-lain.

Selain itu dalam syair tidak ada dua baris sampiran yang sering samar artinya seperti yang terdapat dalam pantun.

Contoh syair


BIDASARI LAHIR

Dengarlah kisah suatu riwayat,
Raja di desa negeri kembayat,
Dikarang fakir dijadikan hikayat,
Dibuatkan syair serta berniat.

Adalah raja sebuah negeri,
Sultan Agus bijak Bestari,
Asalnya Baginda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang biaperi

Kabarnya orang empunya termasa
Baginda itulah raja perkasa,
Tiadalah ia merasa susah,
Entahlah kepada esok dan lusa.

Seri paduka Sultan Bestari,
Setelah ia sudah beristri,
Beberapa bulan beberapa hari,
Hamil lah Putri permaisuri. 

Demi ditentang duli mahkota,
Mangkinlah  hati bertambah cinta,
Laksana mendapat bukit permata,
Menentang istrinya hamil serta.

Beberapa lamanya di dalam kerajaan,
Senantiasa ia bersuka-sukaan,
Datanglah masa beroleh kedukaan,
Baginda meninggalkan tahta kerajaan.

Datanglah kepada suatu masa,
Melayanglah unggas dari angkasa,
Unggas garuda burung perkasa,
Menjadi negeri rusak binasa.

Datang menyambar suaranya bahna,
Gemparlah sekalian mulia dan hina,
Seisi negeri gundah-gulana,
Membawa dirinya barang ke mana.

Baginda pun sedang dihadapi orang,
Mendengarkan gempar seperti perang,
Bertitah Baginda raja yang garang.
Gempar ini apakah kurang.

Demi mendengar titah Baginda,
Berdatang sembah suatu biduanda daulat tuanku dulu seri pada,
Batik sekalian diperhambat Garuda.

Setelah Baginda mendengarkan sembah,
Durja yang manis pucat berubah,
Mentari pun bangkit dada ditebah,
Bertambahnya Baginda hati gelabah.

Putri pun hamil 7 bulan,
Bertambah Baginda sangat kasygulan,
Dipimpin Baginda turun berjalan,
Suatu pun tiada ada perbekalan.

Menyerahlah diri semata-mata,
Kepada Allah Tuhan semesta,
Putri tak dapat berkata-kata,
Berjalanlah ia dengan air mata.

Beberapa melalui kampung dan Padang,
Selangkah panas bagai di rendang,
Hitamlah adinda kuning yang ledang,
Bertambah pilu kalbunya sidang.

GURINDAM

Gurindam biasanya terjadi dari sebuah kalimat majemuk, yang dibagi jadi dua baris yang bersajak.

Tiap-tiap baris itu sebuah kalimat dan perhubungan antara kedua kalimat itu biasanya perhubungan antara anak kalimat dengan induk kalimat.

Jumlah suku tiap-tiap baris tiada ditentukan tanda demikian juga iramanya tidaklah tetap.

Raja Ali haji yang mengarang kan gurindam yang dikutip menerangkan tentang gurindam sebagai berikut.

Adapun arti gurindam itu, yaitu perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya saja, jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti jawab.

Gurindam sendiri merupakan kata-kata pendek yang mengatakan sesuatu tentang pepatah atau peribahasa.

Contoh gurindam

Ini gurindam pasal yang pertama:

Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.

Barang siapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang ma'rifat.

Barang siapa mengenal Allah,
Suruh Dan tegahnya tiada ia menyalah.

Barang siapa mengenal diri,
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari. 

Barang siapa mengenal dunia,
Tahulah ia barang yang terpedaya.

Barang siapa mengenal akhirat,
Tahulah ia dunia mudharat.

Ini gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut,
Tahulah ia makna takut.

Barang siapa meninggalkan sembahyang,
Seperti rumah tiada bertiang.

Barang siapa meninggalkan puasa,
Tidaklah mendapat dua termasa.

Barang siapa meninggalkan zakat,
Tiadalah hartanya beroleh berkat.

Barang siapa meninggalkan haji,
Tiadalah ia menyempurnakan janji.

Ini gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata,
Sedikitlah cita-cita.

Apabila terpelihara kuping,
Kabar yang jahat tiadalah damping.

Apabila terpelihara lidah,
Niscaya dapat daripadanya faedah.

Apabila perut terlalu penuh,
Keluarlah fi'il yang tiada senonoh.

Anggota tengah hendaklah ingat,
Di situ banyak orang yang hilang semangat.

Hendaklah peliharakan kaki,
Daripada berjalan yang membawa rugi.

Selengkapnya di contoh gurindam pendidikan

Itulah contoh dari beberapa gurindam yang merupakan bagian dari puisi lama.

MANTRA

Salah satu jenis dari puisi lama adalah mantra.

Berikut ini mantra berjudul mantra menangkap buaya.

Dibaca kan waktu menyiapkan umpan untuk memancing buaya yaitu seekor ayam yang ditusuk dengan nibung dan diberi tali:

Hai sejambu Rakat, sambut pekiriman,
Putri runduk di gunung ledang,
Ambacang masak sebiji bulat,
Pengikat 7 pengikat, pengarang 7 pengarang,
Diorak dikumbang jangan,
Lulur lalu ditelan,
Kalau tidak kau sambut,
dua  hari, jangan ketiga,
Mati mampek mati mawai
Mati tersadai di pangkalan tambang.

Kalau kau sambut,
Ke darat kau dapat makan,
Ke laut kau dapat minum,
Aku tahu asal kau jadi,
Tulang buku tebu asal kau jadi,
Darah gula, dadaku upih
Gigi kau tunjang berembang,
Ridap kau cucutan atap.

Apabila umpan itu sudah dimakan oleh buaya dan rupanya hendak melawan waktu ditarik, maka dibacakan mantra yang berikut:

Pasu jantan pasu rencana, 
Tutup pasu penolak pasu,
Kau menentang kepada aku,
Terjantang mata kau.

Jantung kau sudah ku gantung,
Hati kau sudah ku rantai,
Sipulut namanya usar,
Berderai lah daun selasih.

Aku tutup hati yang besar,
Aku gantung lidah yang fasik
Jantung kau sudah ku gantung
Hatiku sudah ku rantai
Rantai Allah rantai Muhammad
Rantai Baginda Rasulullah.

KARMINA

Ada kelabang di pohon randu.
Aduh abang, adik rindu.

Beli kentang beli kedondong.
Kalau datang, cium aku dong.

Ikan betutu pulau penyengat.
Aku butuh pelukan hangat.

Kampung Rokan tarian zapin.
Abang makan, aku yang suapin.

Pohon mangga pohon kemumu.
Aku cinta sama kamu.

Selengkapnya di pantun singkat/karmina

SELOKA

Contoh Seloka

Seloka Pak Kaduk

Aduhai malang Pak Kaduk
Ayamnya menang kampung tergadai
Ada nasi dicurahkan
Awak pulang kebuluran
Mudik menongkah surut
Hilir menongkah pasang
Ada isteri dibunuh
Nyaris mati oleh tak makan
Masa belayar kematian angin
Sauh dilabuh bayu berpuput
Ada rumah bertandang duduk

Seloka 12 Baris
Cendawan berduri robekkan kain
Ambil tambang diikat sebelah
Pikirkan diri yang belum kawin
Adakah kumbang bersedia singgah

Ambil tambang diikat sebelah
Robek menganga si kain perca
Adakah kumbang bersedia singgah
Taman bunga mekar ceria

Robek menganga si kain perca
Buat tambalan kain pengganti
Taman bunga mekar ceria
Sudah tentukan si hari jadi

TALIBUN

Talibun adalah pantun yang memiliki susunan genap antara enam hingga sepuluh baris. 

Contoh talibun

Di kala mendung mulai menyapa
Rintik hujan mulai bersiap
Pelangi pun telah menyemburat
Jika hendak beroleh surga
Buat amal soleh padat merayap
Tinggalkan semua hal maksiat

Pasang wajah muka memelas
Orang sekitar sampai kesal
Hingga semua berpaling muka
Tuntutlah ilmu dengan ikhlas
Agar kelak tak menyesal
Siap menghadapi tantangan dunia

Anak orang di Padag Tarap
pergi berjalan ke kebun bunga
hendak ke pekan hari telah senja
Di sana sirih kami kerekap
meskipun daunnya serupa
namun rasanya berlain jua


Demikianlah puisi lama dan contoh-contohnya. 
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url